Mendengar dan Melakukan Firman (2)
Yakobus 1: 22-25
Bagian ini sama dengan bagian sebelum maupun sesudahnya, membahas sikap kita di hadapan Allah yang berfirman. Contoh Alkitab yang paling jelas: saat orang Israel di Sinai, Allah berfirman:basuhlah seluruh tubuhmu dengan air, tunggulah di kaki gunung. Allah mengunjungi mereka di tengah api dan suara nafiri, Musa seorang diri naik ke gunung, menerima firman yang Allah berikan lewat malaikat. Setiap hari Minggu kita mendengar firman, adakah kita memandangnya sebagai satu rutinitas, sampai-sampai pengkhotbah dan pendengar berani bermain-main? Selama 47 1/2 tahun saya menyampaikan firman Tuhan, tak satu kalipun naik mimbar asal-asalan, karena konsep “man is what he reacts before God, berhadapan dengan Tuhan Pemberi firman adalah suatu perkara yang begitu serius” sangat berpengaruh dalam hidup saya. Sejak kecil mama mendidik saya: saat orang berkata-kata, simaklah apa yang dia katakan. Apalagi kalau lawan bicaramu adalah orang tua, orang agung, orang bijaksana. Menyimak pembicaraannya sama dengan menyerap kristalisasi pengalamannya. Jika terhadap manusia saja kita harus bersikap seperti itu, apalagi terhadap Allah.
Saat kita mendengar firman Tuhan, kita harus bisa membedakan apakah pengkhotbah hanya menyampaikan pengetahuan yang rendah nilainya atau menyampaikan intisari berita yang tinggi nilainya. Yang membedakan pengetahuan dan berita adalah: pengetahuan hanya mengisi otak, berita mengandung perintah, desakan, tuntutan Tuhan untuk mengubah hidupmu. What is our reaction before the speaking God? Di usia 20-an, saya pernah menerima satu pelajaran: setelah saya melakukan satu kesalahan yang seharusnya tidak saya lakukan, saya menceritakannya pada seorang dosen berkebangsaan New Zeland. Dia memendang saya dengan penuh prihatin sambil berkata, I’ve told you already. Karena dia memang pernah memperingatkan saya, tapi saya tetap melakukannya. Meski dia tidak memarahi saya, tapi air mukanya dan kalimatnya cukup membekas di hati saya. Bisakah saya tidak melakukan kesalahan; tidak mengulang kesalahan yang pernah saya lakukan? Bisa, tapi mengapa kita selalu mengulang-ulangnya? Jawabnya hanya satu: sudah mendengar tapi tidak memperhatikan, sudah diperingatkan tapi mengabaikannya. Orang yang menyimpan firman di hatinya selalu mengoreksi diri, hidupnya pasti berbeda dengan mereka yang mendengar tapi menganggapnya sebagai angin lalu. Saya yakin, waktu Adam memberitahu kedua anaknya tentang pengalaman pahitnya “karena aku mengabaikan firman Tuhan, maka aku….” Hawa ada disana, kedua anak mereka: Kain dan Habel juga disana, dia mengakhiri kisahnya dengan “setelah berdosa, aku menemukan diriku telanjang, aku malu, tak seorangpun bisa mengembalikan keadaanku seperti saat sebelum aku berdosa, sampai Tuhan mengenakan pakaian kulit menutup tubuhku, barulah aku sadar, karena dosaku, ada binatang yang mati menggantikanku. Itulah satu-satunya solusi untuk menudungi dosaku”. Kain mendengar sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak memperhatikan apa yang dikatakan ayahnya, Habel mendengar sambil menyimpan dalam hatinya. Setelah mereka dewasa , respon merekapun berbeda: Kain memberi korban kepada Tuhan dengan asal-asalan. Maka korbannya tidak Tuhan terima. Tapi Habel, karena dia mendengar, dia tahu dengan jelas, maka dia memilih seekor domba jantan yang sulung, yang sehat untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Tuhan menerimanya. Saat Kain mengetahui hal itu, dia mulai iri, benci. Perhatikan; orang yang tidak diperkenan oleh Tuhan, bukan cari tahu penyebabnya malah timbul rasa iri; mengapa Tuhan memperkenan dia, tapi tidak memperkenanku. Alkitab mencatat: marahlah Kain. Tuhan berfirman, jika kelakuanmu baik, tidakkah korbanmu Ku terima? Jika kelakuanmu tidak baik, dengarlah, dosa sedang mengintaimu di ambang pintu., kau harus menaklukkan dia, bukan ditaklukkan olehnya. Inilah kali pertama dalam sejarah, dosa digambarkan sebagai sesuatu yang berpribadi (sebutan teologisnya: personified sin). Catatan Alkitab yang paling jelas ada di Roma 5-8. Perhatikan: dosa bukan hanya merupakan satu tindakan pelanggaran hukum, melainkan satu kuasa yang akan memaksamu takluk kepadanya dan menerima akibatnya: maut.
Mengapa dosa perlu dipersonifikasi? Membuatmu mengerti, dirimu bukanlah penguasa melainkan budak dari kelakuan jahatmu; salahmu. Dari mana kita tahu Roma 5-8 mempersonifikasikan dosa? Istilah dosa disana bukan plural form melainkan singular form: hamartia. Apa maksudnya? Dosa, dosa, dosa…..yang manusia perbuat hanyalah kelakuan, tapi kuasa dosa bagaikan satu pribadi yang ada di dalam dirimu, siap membelenggu bahkan menelanmu. Reaksi Kain terhadap Tuhan yang berfirman padanya salah. Mungkin kau berdalih, Alkitab tidak menulis saat Adam menceritakan pengalaman pahitnya pada anak-anaknya, mereka memberikan tanggapan yang berbeda. Memang itu adalah khayalan saya, tapi prinsipnya ada di seluruh Kitab Suci: dosa bukan hanya mengacu pada hal yang kau perbuat dengan tangan kakimu, karena tangan kakimu hanya sebagai sarana. Sebelum tangan kakimu beraksi, pikiranmu sudah memikirkannya, bahkan sebelum kau memikirkan, sudah ada niat di hatimu. Kata Yesus, saat kau memandang seorang perempuan (istilah yang Dia pakai mengacu pada wanita yang sudah menikah) dengan berahi, kau sudah berzinah dengannya. Maka etika Kristen adalah etika motivasi, bukan etika kelakuan eksternal. Kata Amsal, peliharalah hatimu lebih dari pada memelihara apapun, karena buah seumur hidupmu muncul dari sana. Mari kita berpaling, mengamati sedini mungkin: what is my reaction, respon toward the speaking God. Karena kita once evangelized, the rest of our whole life, listen to the word of God. Allah akan terus menerus memberimu pengetahuan yang berlimpah, lebih limpah dari perkiraanmu. Setelah mendengar firman, reaksi apa yang harus kita berikan? Cepat-cepat mendengar, lambat berbicara, lambat marah. Kadang karena satu kalimat penting yang kita tangkap, hidup kita langsung berubah, tidak lagi mengulang kesalahan yang biasa kita lakukan. Saya membiasakan diri, baik saat membaca atau mendengar sesuatu, saya memperhatikan kalimat yang paling penting, dari sanalah saya berbenah diri. Kebiasaan ini mendatangkan berkat yang luar biasa besar.
Sekarang kita akan meninjau tahap-tahap yang ada dari mendengar sampai melakukan:
1.rindu untuk mendengar, mendengar dengan teliti, dengan rendah hati.
2.simpan di hatimu. Injil Lukas mencatat, ibu dan ayah Yesus secara jasmani mencari Dia, karena saat mereka pulang dari Yerusalem, mereka tidak menemukan Dia, akhirnya mereka menemukan Dia di Bait Allah. Kata mereka: mengapa Kau masih disini, tahukah Kau kami mencariMu dengan susah payah? JawabNya, tidakkah kamu tahu Aku harus selalu berdiam di rumah BapaKu? Sepintas kedengarannya kurang sopan, tapi sebenarnya, Dia sedang mengoreksi mereka: kamu pikir. Aku telah menyusahkan kamu? Justru terbalik, kamulah yang tidak tahu, Aku harus selalu berdiam di rumah BapaKu. Setelah Dia berkata seperti itu, Alkitab mencatat, mereka menyimpan kata-kataNya di hati dan terus merenungkan. Inilah sikap yang benar: Tuhan sudah berfirman, jangan melawan, simpanlah di hati dan renungkan: God, why You speak like that to me? Why Your concept is so different from my concept? Mengapa? Karena berkesempatan mendengar firmanpun sudah merupakan satu anugerah.
3.beriman pada firman yang kita dengar dan kita simpan di hati, to be submissive; obedience, willing to say yes to the Lord. Kadang Tuhan mengizinkan kita berbantah-bantah denganNya atau melawan Dia, tapi kitalah yang rugi. Suatu malam, saya menyaksikan di discovery channel, tentang cara orang menjinakkan gajah: mereka membujuknya ke suatu tempat, membius dia, mengikat kakinya dengan rantai. Waktu si gajah siuman, dia meronta-ronta sampai darahnya bercucuran. Karena dia pikir dengan meronta-ronta dia bisa lepas. Ternyata manusia yang mengerti ilmu fisika, tahu memakai rantai yang sebesar apa untuk mengikat gajah yang sekian berat tubuhnya. Tayangan yang berdurasi kira-kira 4 menit itu membuat saya menyadari: Tuhan, itulah keadaanku dulu: tak mau taat pada panggilanMu, tidak mau studi di sekolah teologia. Sampai Tuhan memukul saya dengan pukulan yang amat berat: menderita penyakit yang tidak saya ketahui, setiap minggu dua kali tulang sumsum saya perlu disuntik obat sebanyak 20cc, Tuhan menghampiri saya sambil berkata”sekarang maukah kau taat?” “ya”. Jadi, setelah diberi disiplin baru mau taat. Mari kita bersikap taat, merendahkan diri: Tuhan, melt me, shake me,. Memang untuk menerima pembentukkan dari Tuhan tidaklah mudah, perlu waktu yang panjang. Ingat: saat Tuhan mencipta langit dan bumi, Dia hanya perlu mengatakan: “ada….., maka terjadilah”. Tapi untuk membentuk ulang kita, Dia mengutus Yesus mati disalib. Mengirim Roh Kudus menggerakkan hati, dengan tanganNya Dia mencambuk, mendisiplin kita, agar kita berpaling kepadaNya. Apa sebabnya? Man is not merely a small universe, man is the most precious thing in the light of God.
4. beriman padaNya, melaksanakan, merealisasikan firmanNya. Orang yang mendengar firman, mengerti firman, merenungkan firman, percaya firman, belum terbukti rohaninya, sampai dia melakukan firman, barulah nampak sampai dimana rohaninya. Your spirituality is not depend on how much you know, you think, you speak, but how much you have done. Mengapa kita perlu menekankan doktrin begitu rupa? Karena doktrin adalah dasar. Tapi kita tidak hanya menekankan doktrin, kita juga perlu melihat apakah kelakuannya seimbang dengan apa yang dia percaya? Itulah point yang ditekankan oleh Yakobus: mengaitkan kewajiban kita—melakukan firman dengan iman sejati yang menjadi sumber dan dasarnya.
Mungkinkah kita melakukan setiap firman? Tidak mungkin dan tidak perlu. Misalnya waktu kita mendengar khotbah tentang keadaan di sorga sana, tentang Kristus yang mempunyai dwi sifat; sifat ilahi dan sifat manusia, mana mungkin kita menerapkannya? Tapi saat kita mendengar khotbah tentang kesucian Allah, cinta kasih, tanggung jawab kita sebagai orang Kristen…… itulah kewajiban kita sehari-hari. Maka kata Yakobus: jangan hanya menjadi pendengar firman, tapi juga pelaku firman. Seorang ayah berkata kepada tujuh orang anaknya, dia bertanya: siapa yang paling cinta papa? Semuanya berebut menjawab: saya, saya, saya…..lanjutnya: di tanganku ada sepucuk surat yang harus dikirim, siapa yang mau menolongku mengirimnya? Jawabannya berbeda-beda “pa, besok aku ada ulangan…” “Pa, aku sedang mengerjakan PR….””Pa, sekarang sedang hujan deras” Memang saat itu sedang turun hujan deras yang disertai petir. Tapi kata anak bungsunya “pa, aku saja yang pergi” dia yang baru berusia 7 tahun itu mengambil surat yang ada di tangan papanya dan pergi. Tak sampai 20 langkah, papanya memanggilnya dengan cucuran air mata “ anakku, pulanglah, Papa hanya menguji kalian, sekarang aku tahu, kaulah yang paling cinta aku. Meski kau adalah anak bungsu, tapi kau tidak menghiraukan rintangan apapun, mau melakukan apa yang ku inginkan.
Jangan hanya menjadi pendengar firman, jadilah pelaku firman. Karena orang yang hanya mendengar firman sama dengan orang yang berdiri di depan cermin. Waktu kau melihat cermin, apa yang kau inginkan? Tahu bagian mana yang masih kotor, yang kurang rapi. Begitu juga setelah kau mendengar khotbah, kau menemukan kesalahanmu, bukan malah memarahi pendetanya. Saya tidak setuju pendeta yang selalu mengkhotbahkan kesalahan orang, karena mimbar bukanlah tempat untuk menyerang orang. Tapi mimbar yang betul-betul memberitakan firman, ketika ada orang yang merasa ditegur, itu berarti fungsi cermin sudah tercapai. Ulang: saya minta anda dengan amat sangat untuk introspeksi diri: setelah mendengar sekian banyak khotbah, what had you been changed in your life, in your behaviour, in your need, in your thinking, in your personality, in your deeds? Apakah orang yang sifatnya keras, setelah menjadi Kristen harus berubah menjadi lembut? Tak perlu. Hanya saja arahnya berbeda, dulu dia keras terhadap Tuhan, sekarang dia keras terhadap hantu. Dulu dia banyak bicara, setelah menjadi Kristen, dia banyak membicarakan Injil. Jangan hanya berubah secara fenomena saja, melainkan berubah secara esensi, arah, dasar, obyek. Paulus berubah, Yohanes berubah, dari orang yang dijuluki halilintar menjadi rasul yang penuh cinta kasih, yang selalu berbicara tentang kasih; barangsiapa hidup di dalam kasih, dia hidup di dalam Allah. Karena Allah itu kasih adanya. Orang yang sesudah bercermin lalu pergi, melupakan apa yang baru saja dia lihat di cermin, sama dengan orang yang sibuk melakukan banyak hal, tapi tidak mengoreksi diri. Padahal correcting yourself, renewing yourself adalah tugas yang harus kita jalankan setelah kita mendengar firman Tuhan. Orang Puritan menggarisi ayat-ayat perintah Tuhan, janji Tuhan untuk hari depannya….dengan warna yang berbeda-beda. Lalu setiap kali menemukan perintah Tuhan, dia mengintrospeksi diri: apakah aku sudah melakukannya? Setiap kali menemukan janji Tuhan, dia bertanya pada diri sendiri: sudahkah aku menerimanya? Dengan cara itu mereka purifying themselves, melalui hidup yang suci, yang sesuai dengan Alkitab. Karena mereka menjadikan Alkitab sebagai pedoman, patokan, tuntutan, kebenaran yang memperkaya hidup mereka.
Ayat 25, satu-satunya ayat yang berbicara tentang: hukum yang memerdekakan orang. Ayat ini mengajak kita mengamati dua sifat dari hukum Tuhan: sempurna dan memerdekakan. Mengapa hukum Tuhan disebut sempurna? Karena apa yang Tuhan inginkan kita ketahui, tidak ada yang tidak tertulis di Alkitab; nothing else, sudah complete. Tidak ada kitab yang lebih sempurna dari Kitab Suci; dari awal dunia dicipta sampai dunia berakhir, prinsip-prinsip tentang kesucian, keadilan , kebenaran, cinta kasih, kebajikan…semuanya ada disana. Waktu kecil, di zaman Jepang, hidup kami susah, mama dengan susah payah menjahit untuk membesarkan kami berdelapan. Sebelum kami meninggalkan Tiongkok, saya sering melihat mama membawa bungkusan-bungkusan. Saya tanyakan kepadanya “apa yang mama bawa? “beras, minyak,gula” “untuk apa””Banyak orang yang lebih miskin dari kita” Berapa bulan setelah dia meninggal, ada saja orang-orang datang ke rumah, mau mengembalikan uang yang dipinjamkan oleh mama. Barulah kami tahu, uang yang setiap bulan kami berikan padanya, dia bukan pakai untuk dirinya, melainkan untuk membantu orang yang membutuhkan. Jadi, mama bukan hanya seorang pendengar firman, tapi juga pelaku firman. Kau akan diberkati, kalau kau menjalankan firman yang kau dengar. Kiranya Tuhan berfirman kepada kita.
(ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah-EL)