May 08, 2005

Violence, Otherness and Reconciliation (DR.Joshua Lie)

VIOLENCE, OTHERNESS AND RECONCILIATION
(DR. Joshua Lie, 30 July-01 August 2001)

A. VIOLENCE (Kekejaman, Kejahatan, Kekerasan, Evil), Yoh 9 : 1-5

v Modern

Pendapat modern mengenai violence :
- Pengalaman/Masalah violence merupakan pengalaman/Masalah individual pribadi yang mengalami, tetapi secara konsep merupakan generalisasi
- Pengalaman/Masalah violence selalu dicari kausalitasnya, tetapi seandainya sudah diketahui kausalitasnya, belum tentu dapat menyelesaikan violence karena kompleksitas masalah. Seringkali manusia memulai violence tetapi tidak dapat menyelesaikannya
Contoh : Kej 37, Kisah Yakub dan 12 putranya
Mengapa Yusuf dibenci oleh saudara-saudaranya? Karena Yakub pilih kasih
kemudian apa Solusinya? Tidak ada, bahkan diakhiri dengan kepahitan, Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya, Yakub menangisi kematian Yusuf dan saudara-saudaranya dibayangi dosa mereka seumur hidup
- Suffering atau violence disebabkan oleh evil, tetapi siapa evil? Tidak ada yang tahu, modern tidak bisa menjawab
- Pandangan terhadap Violence : I am a winner

v Post Modern
Pendapat Post Modern mengenai violence :
- Masalah evil/violence bukan merupakan masalah individu tapi masalah inter human karena kompleksitas masalah
Contoh : Masalah AIDS, bukan merupakan masalah penderita AIDS tapi juga merupakan masalah bersama, karena harus dicegah penularannya.
- Masalah evil/violence dipahami sebagai story, akibatnya kejahatan dapat tidak terasa sebagai kejahatan. Jika kita membangun story of life yang salah akan berakibat terjadi violence. Dalam story tidak ada unsur kausalitas
Contoh : Paulus
Paulus membangun story hidupnya : saya Orang Farisi, Suku Benyamin, dll… sehingga kalau ia tidak menganiaya orang Kristen, maka story hidup yang sudah ia bangun tidak ada artinya, justru kalau ia tidak menganiaya orang Kristen, ia aneh.
- Violence dipahami dan dikaitkan dengan plot, violence memiliki plot yang sukar diduga, violence bisa ada dimana-mana tergantung tinggi dan rendah intensitasnya
- Evil is suffering/violence dan sebaliknya, itu berarti dimana ada evil disitu ada violence, maka tidak usah lagi dicari penyebabnya, hadapi dan kalahkan evil/violence, tetapi manusia tidak mungkin menyelesaikan dan mengalahkan masalah violence secara tuntas, karena untuk itu ia harus menjadi infinitive
- Pandangan terhadap violence/evil : I am a survivor

v Pandangan Alkitab terhadap Violence/suffering/evil
- Masalah evil/violence tidak bisa diselesaikan dengan mencari kausalitasnya dan bukan juga dengan menghadapi dan mengalahkannya tetapi dengan intervensi dari Allah melalui karya Penebusa Kristus.
- Saat mengalami violence jangan putus asa tetapi berjalanlah bersama Tuhan dalam proses pembentukanNya untuk mengatasi violence tersebut
- Menurut postmodern (lavinas) suffering itu useless, tetapi menurut pandangan Alkitab suffering berguna ditangan Tuhan, dapat dipakai Tuhan untuk membentuk kita. Jangan biarkan suffering yang membentuk kita (keras, taft, lemah), tapi biarkan kehendak Tuhan yang membentuk kita
Contoh : Kej 37
Allah intervensi dalam kehidupan Yakub dan anak-anaknya
Yakub : dibentuk Tuhan dengan berpisah dari anak kesayangannya (tidak boleh mengasihi terlalu berlebihan) setelah proses Tuhan selesai bertemu kembali dengan anak yang dikasihinya
Yusuf : harus berpisah dari keluarga dan mengalami proses panjang yang pahit sebelum sukses dan bertemu kembali dengan keluarganya
Saudara-saudara Yusuf : dibayangi dosa dan harus berlutut hormat kepada Yusuf sebelum masalah evil diantara mereka diselesaikan dengan intervensi Tuhan

B. OTHERNESS (SESAMA YANG LAIN), LUKAS 10 : 25-37

v Post modernisme

- Violence muncul karena manusia tidak bisa menghargai/mengakui sesama yang lain di dunia dimana manusia hidup
- Pendapat Lavinas mengenai Otherness :
a. Manusia harus menjadi ateis untuk memiliki relasi yang benar dengan Allah
Ateis = Manusia harus bisa independen terlebih dahulu baru dia bisa berelasi dengan Tuhan secara benar
Contoh : A menjatuhkan diri dan ia dependen kepada Allah untuk menopangnya. Sebenarnya A sedang menjajah Allah untuk melaksanakan apa yang ia kehendaki. Kalau A independen, maka ia bisa menghargai dan menerima Allah apa adanya.
b. Dalam relasi antara dua orang, satu sama lain tidak boleh menjadikan yang lainnya untuk menjadi sama dengan dirinya. Evil terjadi karena semua ingin dijadikan sama, tidak mengijinkan adanya perbedaan. Dengan demikian saat berelasi dengan sesama, saya harus menjadi seegois-egoisnya, karena jika saya tidak pernah enjoy dengan diri sendiri (egois) saya tidak bisa menerima orang lain apa adanya sehingga saya memanipulasi dia untuk menikmati diri sendiri. Dengan menjadi egois , maka saya independen sehingga saya bisa menghargai “ saya adalah saya, dia adalah dia”.
c. Setiap waktu saat saya bertemu/berelasi dengan orang lain, saya dituntut untuk berbuat baik kepada dia. Saat itulah maka suffering/evil/violence bisa diatasi. Saya menuntut diri saya sendiri untuk menjadikan sesama saya sebagai tuan saya, dia hadir secara transenden (inilah sebab mengapa post modern memberikan “tempat” untuk keberadaan Allah, meski hanya bersifat trace yang datang dan hilang tiba-tiba, berbeda dengan modern yang “membuang” Allah, karena Allah dianggap tidak logic).
d. Dalam relasi antara lebih dari 2 orang, dengan melaksanakan point c maka muncullah justice yaitu hospitality dalam pengertian “ setiap negara harus menerima orang yang datang kenegara tersebut tanpa memperhatikan latar belakangnya”. Tidak boleh ada pembatasan/pengkotak-kotakkan lagi

v Pandangan Alkitab mengenai otherness (Luk 10 : 25 – 37)
- Problematika orang berdosa bukanlah problematika pengetahuan mengenai siapakah sesama manusia tetapi bagaimana mengerti sesama yang lain.
- Kalau kita ingin menjadikan orang lain sebagai tuan atas kita hal tersebut tidak mungkin karena dalam berelasi dengan orang lain kita cenderung melihat atribut (SARA) yang dimilikinya dan bukan manusianya.
- Sebagai orang berdosa, kita cenderung membangun self, identitas diri dengan atribut-atribut tertentu dan kemudian melakukan hal-hal yang sesuai dengan atribut & identitas yang sudah kita bangun.
- Sebagai orang percaya, seharusnya identitas diri dibangun didalam dan oleh Tuhan, masalahnya bersediakah kita dirubah oleh Tuhan? Bersediakah kita mengakui karya Tuhan dalam hidup kita?





C. RECONCILIATION , EF 2 ; 11 – 14 ; 4 : 2 – 3

v Post modernisme
- Reconciliation dipahami sebagai sesuatu yang terjadi/obligation happen seperti ‘flashing light’ (sesuatu yang terjadi seperti kilat, tiba-tiba & selesai, menghasilkan reconciliation) dan bisa hadir dimana-mana, bersifat transenden. Tidak perlu mencari reason untuk melakukan reconciliation, melainkan ada sesuatu yang timbul didalam hatiku secara tiba-tiba untuk melakukan itu pada saat itu. Dalam melakukan reconciliation manusia independen tetapi ada kehadiran transeden Reconciliation dalam menghadapi evil dipahami sebagai ‘departure without return’.
Contoh ; Abraham, ia independen tetapi experience transeden with God
Saat ‘lampu kamera’ terjadi (ada suara yang memerintahkan ia untuk pergi), ia tidak keberatan untuk mengikutinya dan ia independen, tidak terikat dengan atribut-atribut (kekayaan, keluarga) di tanah kelahirannya, sehingga suffering bisa diatasinya.
- Problem utama post modern adalah so many theory but theory tersebut mau ditaruh dimana. Karena modern menghasilkan terlalu banyak teori untuk mengatasi masalah manusia tetapi masalah manusia tetap tidak teratasi

v Pandangan Alkitab
- Ef 2 : 11à manusia berdosa terpisah dan membangun tembok-tembok sehingga menghasilkan perseteruan diantara mereka
By Birth + By Structure = Perseteruan à pola kehidupan didalam dosa
- Ef 2 : 14; 4:1 à Damai Sejahtera ADALAH Dia. Rekonciliation bukan hanya bersifat konsep dalam pemikiran. Diri kita yang sudah diperdamaikan dengan Allah melalui karya penebusan Kristus dapat menjadi pendamai/damai sejahtera bagi orang lain. Dengan memperoleh sumber damai sejahtera, maka kita dapat menjadi damai sejahtera bagi orang lain.
- Untuk memahami damai sejahtera sehingga dapat melihat dan mengatasi violence secara tepat, kita harus hidup sebagai body of Christ yang memiliki ciri :
a. Rendah hati (humble)
Setiap orang Kristen yang sudah diselamatkan oleh Kristus adalah unik (singular), tidak ada yang sama persis, tetapi tetap harus sadar bahwa saya hanya salah satu bagian dalam tubuh Kristus sehingga saya harus humble (= menempatkan diri pada tempatnya). Kita tidak dapat humble bila belum berdamai dengan diri sendiri
b. Lemah lembut (gentle)
Sebagai bagian dari tubuh Kristus saya memerlukan yang lain (interdependensi, I Kor 12)
c. Sabar (be patient)
Jangan terlalu cepat menghakimi diri sendiri dan orang lain karena semua sedang dalam proses pertumbuhan. Mari terus bertumbuh, selama belum bertumbuh kita tidak pernah tahu betapa besar anugerah Tuhan
- Pandangan Alkitab :
a. Evil bukan sesuatu yang ada, tetapi ‘ada’ (bukan sesuatu yang ada pada dirinya)
Contoh : à Kertas sempurna


à ada yang tidak ada, tidak ada yang ada, that’s evil

b. Fokus hidup bukan evil. Evil ada karena manusia telah kehilangan kemuliaan Allah.
c. Pengertian depend dalam Alkitab : bukan manusia yang merasa perlu Allah sehingga manusia mencari, tapi depend datang dari Allah (Kej 1 : 28), justru manusia melanggar nature depensi yang diberikan Allah.