Ibrani 13:15-16
Di jaman Daud, orang Israel memiliki tabut tapi tak memiliki Bait Allah, sedangkan di jaman Herodes, mereka memiliki Bait Allah tapi tak memiliki tabut. Akan tetapi mereka masih mempunyai mezbah, tempat imam mempersembahkan korban-korban pada Tuhan, tapi tujuh puluh tahun setelah Yesus lahir, Bait Allah yang dibangun Herodes yang belum genap empat puluh puluh tahun dipakai, sudah Tuhan biarkan musnah bersama kota Yerusalem dan bangsa Yahudi, tak ada satu batu yang melekat di atas batu lain. persis seperti nubuat Yesus Kristus: jangan kau membanggakan Bait Allah yang agung ini, dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu, suatu hari nanti, tak ada satu batu yang melekat di atas batu lain. Yerusalem, Yerusalem, kau akan menjadi reruntuhan. Aku pernah menangisimu, berkali-kali ingin menghimpunmu, bagaikan induk ayam menghimpun anak-anaknya di bawah naungan sayapnya tapi kau tidak mau. Lebih tragis lagi, di th. 73, A.D., seribu lebih tentara Israel yang tersisa juga melakukan bunuh diri massal di dataran tinggi Masada, karena tak seorangpun mau menyerah pada tentara Romawi. Jadi, sejak th. 70, orang Yahudi tak punya negara, tentara, imam, nabi, raja, tak lagi memberikan korban pada Tuhan, tetapi penulis Ibrani mengatakan: mari kita memberikan korban-korban yang diperkenan Tuhan:
1. korban syukur: saat kau menderita bagi Tuhan, menderita bagi firmanNya, saat
dianiaya karena melakukan kebenaran, saat kepalamu harus dipenggal karena
mulutmu mengaku Kristus sebagai Tuhanmu, syukur yang kau naikkan adalah korban yang
sejati. Tuhan menginginkan korban syukur dari mulut setiap orang yang mengaku diri
Kristen, adakah kita justru bersungut-sungut, mengomel, merasa tidak puas padaNya?
Mari kita bersyukur dan bersyukur untuk anugerah yang sudah kita terima, doakan
dan tolonglah mereka yang belum menerima anugerah.
2. korban melakukan kebajikan. Dua minggu lalu kita sudah membahas Mikha 6:8. Kebajikan belum pernah Alkitab pandang sebagai benih yang membuahkan
hidup kekal, seperti yang diajarkan oleh semua agama: manusia berdosa bisa
menutup dosanya dengan kebajikan, bisa menukar kebajikan dengan anugerah
keselamatan yang dari Allah, tapi kekristenan selalu mengategorikan perbuatan bajik sebagai buah, bukan benih keselamatan. Tuhan sudah menyatakan pada kita, apa itu kebajikan: melakukan keadilan, mencintai kemurahan... Jika seorang menjalankan keadilan dengan tegas tapi tidak mempunyai kemurahan atau di sisi yang lain murah hati tapi selalu berkompromi dengan dosa, dia belum melakukan kebajikan seturut standar Allah. Membuat keduanya seimbang butuh bijaksana sorgawi, sulit luar biasa namun mendatangkan kuasa yang ajaib, membawa orang bertobat. Setelah kau berhasil membuat keduanya seimbang, Tuhan berkata, kau harus rendah hati: merasa diri tidak layak, hanyalah anugerah Tuhan yang memungkinkan, juga harus berjalan bersamaNya.
3. korban memberi bantuan. Sungguh sangat menarik: karena di ayat ini istilah yang dipakai untuk memberi bantuan adalah koinonia bukan diakonia. Artinya: Jangan membantu orang dengan perasaan diri lebih tinggi darinya. Karena perlakuan seperti itu menandakan kau sambil memberi bantuan fisik sambil menyiksa batinnya. Itulah kelemahan para dermawan: sambil menolong orang sambil menumpuk jasa, reputasi diri. 2400 tahun yang lampau, di dalam buku zhan guo chi terdapat sebuah cerita: seorang miskin yang sangat kelaparan berjalan di tengah-tengah sebuah kamp, di mana banyak orang berseru minta bantuan, tiba-tiba dia mendengar seorang kaya berseru pada seseorang “hai, makanlah” tapi jawab orang ini “sekalipun aku mati, aku tidak sudi makan makananmu” Kawannya bertanya “bukankah kau lapar sekali, mengapa menolak makanan yang dia berikan?” “bu chijie laichi; aku tidak makan makanan yang disodorkan oleh orang yang memandangku bagai anjing. Karena aku adalah manusia” dia tidak sudi makan makanan dari orang yang memandang rendah dirinya. Jangan lupa, orang yang miskin hanyalah orang yang kantongnya kempes, tapi jiwanya belum tentu kempes. Karena orang yang saat ini miskin, siapa tahu tiga puluh tahun kemudian, keturunannya menjadi orang kaya, sedang keturunanmu mungkin menjadi pengemis. Tak seorangpun berhak menghina orang lain. Beberapa bulan ini saya sangat bersyukur pada Tuhan, karena saya harus sering meninggalkan rumah karena pekerjaan Tuhan, nyonya saya juga kadang tidak di rumah, siapa yang menjaga rumah? pembantu. Padahal ada cukup banyak barang di rumah saya, setiap kali saya pulang, saya perhatikan: tidak satupun yang hilang. Saya sangat salut pada karakter mereka yang sangat tinggi dan anggun. Adakah derajat kita lebih tinggi dari mereka? Belum tentu. karenanya saya selalu memandang mereka sebagai manusia terhormat, yang dicipta menurut peta teladan Allah, meski kantong mereka kempes, pakaian mereka sederhana, tapi jiwa mereka sangat anggun. Itu sebabnya saat kita membantu orang, ingat: kita harus rendah hati, dengan koinonia, memandangnya bagai saudara yang perlu kita kasihi dan pelihara. Jika kau memandang rendah dirinya, sambil membantu sambil menuntut dia mengingat jasa besarmu, kau sedang berdosa, karena Tuhan telah membantumu dengan cara mati di atas kayu salib. Demi membantu perempuan Samaria, Yesus duduk di tepi perigi, dengan rendah hati berkata “tolong beri Aku minum”, padahal yang membutuhkan air hidup adalah perempuan itu bukan Yesus. Memang pada saat itu, Yesus letih, lesu, lapar secara jasmani, maka Dia menyuruh rasul-rasul membeli makanan di kota. tapi Dia minta minum pada perempuan itu, perhatikan: Yesus bahkan tidak minum barang seteguk dari air itu, Dia hanya meminjam istilah air untuk membahas air hidup, sampai perempuan itu meminta “kalau Kau mempunyai air hidup, berikanlah air itu padaku, maka aku tak perlu setiap hari datang ke tempat ini untuk menimba air dengan susah payah” barulah Dia berkata “kau menginginkan air hidup? Panggillah suamimu” “aku tidak punya suami” “memang, kau tidak punya suami, karena kau sudah memiliki lima suami, bahkan suamimu yang sekarang juga suami kongsian, bukan suamimu sendiri” si perempuan itupun sadar, orang yang berbicara dengannya adalah Mesias, dia juga sadar, meski dia bisa mengelabuhi orang lain, tapi Tuhan tahu isi hatinya. Tuhan tidak menolong orang dengan cara: Aku ini konglomerat, siapa kau? Ambillah uang ini dan pergi, tapi Dia menolong dengan rendah hati. Jadi, tidak salah penulis Ibrani berkata, jika kamu memberi bantuan, berikanlah dengan koinonia; sikap bersahabat dan penuh rasa hormat. Th. 1979, saya bersama Yahya Ling ke Manila, begitu tiba, orang yang menjemput kami berkata “kami akan mengantar kalian ke Batakan, tempat penampungan pengungsi Vietnam” Jawab saya “tak jadi soal. Anak Allahpun lahir di palungan, Stephen Tong-pun siap tinggal di mana saja”. Mereka mengantar kami ke sebuah penginapan yang sederhana sekali, lalu membawa kami ke Batakan. Sungguh, saya tidak pernah melihat manusia sarden seperti itu. Tempatnya begitu kotor dan begitu sederhana: bangunannya terdiri dari kayu-kayu yang sangat kasar, dilapisi plastik dan orangpun tidur di atasnya. Orang yang mengantar kami sambil menunjuk sebuah kapal pecah berkata, inilah kapal yang mereka gunakan saat kabur dari Vietnam. kapal yang besarnya tiga kali enam meter itu ditumpangi enam puluh orang, untuk itu setiap orang harus menyerahkan empat ratus gram emas baru diijinkan naik kapal, beberapa ratus gram emas diletakkan di badan mereka agar tidak diambil orang. Namun sesampainya mereka di Malaysia, orang menemukan, di pakaian mereka yang kotor itu terdapat emas, merekapun diberi pakaian baru. pakaian yang kotor beserta emasnya dirampas, perempuan-perempuan yang cantik diperkosa lalu mereka dinaikkan ke kapal dan didorong ke laut, tapi laporannya ke PBB: kami telah memberi mereka makan, minum dan pakaian baru pada mereka. Mereka menangis dan menangis, di tengah jalan, kapalnya karam, banyak orang yang mati, hanya beberapa orang saja yang hidup. Mendengar kisah dan menyaksikan tempat tinggal mereka, serasa ingin menangis. maka saya bertanya pada Tuhan: malam ini, khotbah apa yang harus saya sampaikan? Karena seorang pengkhotbah bukan hanya dituntut bisa berkhotbah, tahu tentang teologi, juga harus tahu berita yang dibutuhkan pendengarnya, karena saya hanya berkhotbah empat session untuk menenangkan mereka dan meneguhkan iman mereka. Sebelum khotbah, ada orang membagi-bagikan pakaian bekas, sandal bekas pada mereka, suasananya berisik sekali, majelis memarahi mereka: diam, kalau tidak, kami tidak akan bagikan barang ini. Hati saya bagai ditusuk-tusuk, karena barang yang mereka bagikan itu hanyalah pakaian bekas yang sudah jelek-jelek dan sandal yang berbau busuk tapi sikap mereka begitu arogan. Saya minta Tuhan mengampuni mereka, juga mempersiapkan hati saya untuk berkhotbah. Sungguh di luar dugaan saya, sebelum saya berkhotbah, seorang yang duduk di baris pertama bertanya pada saya “apakah anda Pdt. Stephen Tong?” “ya” “apakah bapak masih ingat saya?” “tidak” “pernahkah anda berkhotbah di Saigon?” “ya, lima tahun lalu, th. 1974” “ingatkah bapak akan seorang yang gemuk, yang selama tiga hari itu selalu duduk di baris depan sebelah kiri? Sayalah orangnya” “kamukah orang itu?” “betul, saat itu, saya adalah pemilik pabrik kertas terbesar di Vietnam, tapi hari ini, saya adalah pengungsi. Isteri dan anak saya berada di kapal lain. mungkin mereka sudah mati, saya tidak tahu” saya terhenyak, tak tahu harus mengatakan apa padanya. Saya mulai berkhotbah: Tuhan mengijinkan penderitaan menimpa hidup kita, karena tanpa penderitaan seorang takkan menjadi mahir, tanpa penderitaan iman kita tak akan menjadi mantap dan memperoleh ke-menangan yang sungguh. Saya juga pernah kaya, papa saya mempunyai dua puluh empat buah rumah bertingkat tiga, apotik besar dan toko besar di jalan utama kota Amoi, tapi waktu saya berumur tiga tahun, saya diijinkan menjadi piatu. Di jaman perang Jepang, hidup kami sekeluarga begitu sulit. Saat saya mengisahkan mengapa Allah yang adalah kasih itu mengijinkan manusia menderita, mereka mendengar khotbah dengan penuh konsentrasi: sejarah membuktikan ada banyak tokoh agung pernah mengalami kesulitan besar dalam hidup mereka, tapi orang yang belum pernah mengenal penderitaan dalam hidupnya justru hidupnya tak karuan, itu sebabnya jangan mengeluh atau marah pada Tuhan di saat menderita. Saya harap, lima puluh tahun kemudian, anak cucumu meraih sukses yang lebih besar dari orang lain. Saya juga berharap, kelak saya bisa bertemu dengan kalian di Kanada. di Amerika, di Perancis, di Jerman, di Inggris, di Australia — negara-negara yang bersedia menampung kalian... Banyak orang mencucurkan air mata dan menerima Tuhan Yesus, banyak orang Kristen dikuatkan. Orang kaya jangan menghina atau mengejek orang miskin, orang yang miskin juga jangan iri atau membenci orang kaya, karena di dunia ini, kita hanyalah musafir. Lima puluh tahun kemudian, cucumu mungkin menjadi pengemis. sementara keturunan pembantumu. sopirmu mungkin menjadi orang ternama. Pepatah Tionghoa mengatakan: fu gui bu guo san dai; kekayaan tak akan bisa lewat tiga generasi: generasi pertama banting tulang bekerja. mencari uang dan menjadi kaya. Tapi setelah dia kaya justru memanjakan anak-anaknya, membiarkan mereka tidak sekolah, memakai uang seenaknya tanpa perlu berjuang, akibatnya: generasi pertama hanya tahu mencari uang, generasi kedua hanya tahu meng-hambur-hamburkan uang, generasi ketiga hanya tahu mengais uang menjadi pengemis. Inilah pepatah yang sering menjadi kenyataan. Kami memang pernah kaya tapi pernah juga jatuh miskin, dan sekarang kami cukup. Itulah cara Tuhan melatih kami, meski anak-anak saya juga sudah saya latih untuk berjuang; tapi dibandingkan dengan kami, mereka masih terlalu enak. Karena ketika saya berusia delapan belas tahun, selesai mengajar di satu sekolah, saya langsung mengayuh sepeda untuk mengajar di sekolah lain sampai jam sepuluh malam, kadang di tengah jalan turun hujan deras, baju saya basah kuyup. saya mencari tempat yang anginnya cukup kencang untuk mengeringkan baju, tanpa peduli akan jatuh sakit atau tidak, bertahun-tahun hidup seperti itu, tahu apa itu susah. Itu sebabnya kalau saya membantu orang, saya akan mem-bantu dengan sukacita, tanpa memberitahukannya pada orang lain, supaya orang yang saya bantu tidak merasa terhina. Itulah yang Alkitab ajarkan: memberi bantuan dengan rasa persaudaraan, rela, sebagai korban yang kita persembahkan pada Tuhan.
Terakhir, siapa yang harus kita bantu? Apakah membantu semua orang susah? Tidak! Karena: 1. tidak mungkin. 2. tidak perlu. 3. tidak baik.
Kita tidak membantu semua orang yang miskin, karena bila kita hanya tahu membantu, di satu pihak, kita memang melakukan kebajikan, tapi di pihak lain, karena kita tidak membantu mereka dengan bijaksana, kita justru merusak mereka. Maka orang yang malas, jahat, tidak menjalankan kewajibannya tak perlu dibantu, tapi bantulah mereka yang rajin bekerja tapi masih tidak bisa mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Kita tak perlu, tak baik juga tak mungkin bisa membantu semua orang. Karena kita serba terbatas: uang kita, kemungkinan kita membantu, kemungkinan kita mengetahui siapa yang perlu dibantu... terbatas, maka kita perlu menemukan orang yang perlu dibantu dengan mata yang cerdik, lalu kita betul-betul berdoa, minta Tuhan memberi kita kekuatan menyalurkan dana kita yang terbatas dengan benar. Jika anakmu tak mau studi, hanya tahu menghambur-hamburkan uang saja. alihkan uang yang mungkin bisa menjerumuskan anakmu itu untuk membantu orang yang membutuhkannya. Berulang kali saya mengatakan pada anak-anak saya: jika kalian tidak studi dengan sungguh, uang studimu akan saya alihkan untuk mereka yang pintar studinya tapi tak punya dana. Karena dia juga anak Tuhan, dia juga punya peta teladan Allah yang patut kita kasihi. Jadi, baik GRII(Gereja Reformed Injili Indonesia) maupun institusi kami, tidak akan menolong orang hanya karena dia miskin, melainkan menolong orang yang mau berjuang. Jangan takut ditipu lalu tidak memberi bantuan, juga jangan memberi bantuan pada mereka yang tidak beres. Di Jakarta, ada gereja mempunyai dana penginjilan yang berlimpah, karena tak terpakai. maka beberapa orang majelis pergi meninjau lapangan penginjilan dengan pesawat, tinggal di hotel mewah. Itu adalah dosa. Sampai hari ini, sebagai pimpinannnu, ke manapun saya pergi, tidak pernah membeli tiket dengan uang gereja, sebagai hamba Tuhan. sebisa mungkin saya memilih hotel yang murah. makan makanan yang paling sederhana.
Kita perlu mengekang diri, menolong orang lain dan mengatur segalanya dengan baik. Karena korban syukur, korban berbuat baik dan korban memberi bantuan adalah korban-korban yang diperkenan Tuhan.
(ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah –El)
<< Home